Ada yang mengatakan, makin tinggi atau rumit suatu bahasa semakin tinggi pula budaya yang terkandung. Banyak orang yang sependapat dengan ungkapan ini, tapi ada juga orang yang kurang sependapat. Bagaimana dengan budaya Indonesia dan Bahasa Indonesia itu sendiri?

Semua penduduk Indonesia pasti akan mengatakan kalau Indonesia memiliki budaya yang sangat kaya, dengan beragam suku bangsa dan terbentangnya pulau-pulau menghasilkan karya cipta yang beragam pula. Lalu bagaimana dengan masalah kebahasaannya sendiri? Bahasa Indonesia sudah berkembang cukup pesat, kalau kita ambil pergerakkannya sejak ikrar Sumpah Pemuda, tentunya bahasa Indonesia tidak mengarungi waktu yang sedikit hingga saat ini.

Bahasa

Tapi apakah Bahasa Indonesia yang kita kenal sekarang sudah berbudaya? Sesekali penulis mendapati anak-anak kecil usia sekitar 4 tahun atau 5 tahun yang mengutarakan, ‘emang gue pikirin!’ atau ‘bodo amat!’, ucapan-ucapan sejenis yang sering terlontar dari mulut-mulut anak-anak ini mencirikan satu hal kepada kita, yaitu merosotnya budaya kita. Dan ucapan sejenis ini dilontarkan kepada bukan hanya teman-temannya saja, melainkan kepada orang tua juga. Tapi, apakah hal ini bisa disebut sebuah penambahan budaya baru? Apakah hal ini bisa disebut kekayaan bahasa baru? Rekan-rekan sekalian pasti ingat semasa kecil dulu yang bahasanya lebih sopan dari ucapan-ucapan diatas. Namun demikian, apakah hal ini langsung disalahkan kepada orang tua si anak? Atau semata ini hanya perkembangan zaman?

Hal utama yang terlintas di benak kita adalah sudah begitu bebasnya arus media yang datang ke mata dan telinga anak-anak penerus bangsa ini, atau bisa dikatakan penerus bahasa dan budaya Indonesia. Besarnya akibat yang dilahirkan dari tayangan-tanyangan TV ini bisa saja membentuk karakter budaya bangsa kita yang baru. Hal terkecil yang dimulai adalah dari penggunaan bahasa yang tidak semestinya.

Upaya Perbaikan

Ungkapan “mulutmu harimaumu” pasti sering kita dengar, atau sudah ada yang mengalaminya? Ungkapan tersebut mengacu pada apa yang kita terima atau dengar dari orang lain dan lawan bicara sedikit-banyak merupakan hasil dari apa yang kita ucapkan atau katakan sebelumnya. Berangkat dari lingkungan terkecil, yaitu keluarga, seorang anak akan terlihat bagaimana didikannya dalam keluarga dari tutur bahasa yang ia gunakan diluar lingkungan keluarganya, dan tentunya terkait pula dengan pola didikan dan tutur bahasa orang tuanya.

Dalam lingkup yang lebih besar pemerintah dalam hal ini Depdiknas yang dimotori oleh Pusat Bahasa berupaya mengembalikan jati budaya Indonesia yang berawal dari penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahkan tahun 2008 akan dicanangkan sebagai Tahun Bahasa, yang mana diharapkan Bahasa Indonesia akan menempati posisi sebagai tuan rumah dinegaranya sendiri, dengan tidak melupakan kehadiran Bahasa Daerah dan Bahasa Asing. Dan selain itu, tahun 2008 juga akan diselenggarakan Kongres Bahasa.

Pada dasarnya semua kembali kepada diri kita masing-masing, apakah bahasa yang tidak berbudaya tersebut akan terus berkelanjutan atau tidak? Apakah budaya ’bodo amat!’ dan ungkapan-ungkapan sejenis akan terus mewarnai kehidupan sehari-hari kita? Apakah akan terbentuk budaya baru yang mengesampingkan keramahan dan keindahan Bahasa Indonesia dan digantikan dengan bahasa yang tidak semestinya?

Bahasa akan selalu mencirikan budaya bangsa, ini merupakan salah satu unsur saja, tapi apakah unsur tersebut akan kita rusak? Dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada Bahasa Daerah sebagai keragaman dan budaya nasional dan Bahasa Asing sebagai penambah khasanah ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak ada salahnya Bahasa Indonesia tetap jadi bahasa yang indah dan menunjukkan siapa diri kita sebenarnya.

0 komentar: