Selasa, 02 Desember 2008

Daging Versus Tahu dan Tempe

Kalau di Indonesia, daging adalah makanan bergengsi. Orang Eropa justru menganggap daging adalah musuh.

Akibatnya, orang Indonesia mulai banyak yang menderita obesitas. Kebalikannya, orang Eropa berlomba menguruskan badan. Bagaimana bisa? Ini pun ada kisahnya.

Siang ini saya bertandang ke seorang kenalan orang Indonesia, rupanya beliau lagi ketiban rezeki, yang juga menciprati saya. Ada yang memasakkan oseng-oseng tahu dengan kacang panjang bumbu tauco, siang itu kami makan dengan nasi panas. Wah sedap sekali, masakan mewah ini. Saat ini orang Eropa mulai menyadari bahwa nasi itu lebih sehat dari roti (karena seratnya). Sehingga para dokter di Jerman juga menyarankan orang Jerman mulai mengkonsumsi nasi, jadi mencari beras sekarang mudah sekali, di supermarket mana-mana selalu ada.

Begitu juga terhadap tempe dan tahu. Mereka sadar bahwa tempe dan tahu itu lebih sehat dari daging. Tidak heran sekarang tahu bisa diperoleh di super market biasa. Bahkan Jerman sudah menyenggaralan pendidikan khusus untuk pembuat tahu.

Jangan-jangan sebentar lagi orang Indonesia belajar proses pabrik tahu ke Jerman. Bahkan seringkali kami harus berebutan dengan mereka bila membeli tahu. tempe ? Jangan tanya lagi, bila kami memasak tempe, ini artinya sedang berlebihan duit.

Kenalan saya yang sedang saya kunjungi itu sedang sakit, beberapa rekannya yang berprofesi dokter menyarankan untuk mengkonsumsi taoge segar. Karena taoge segar menurut pak Dokter, memiliki kandungan yang baik bagi tubuh. Sedangkan telor, tidak boleh banyak-banyak dikonsumsi menurut pak Dokter, katanya 1 minggu 3 telor saja sudah terlalu banyak. Dan daging sebaiknya dikurangi.

Orang Eropa kini menjadi makin sadar akan kesehatan dan makin mengontrol dan mengubah pola maka mereka. Walau tingkat obesitas mereka, belum separah orang Amerika, tetapi orang Jerman sadar bahwa masalah kegemukan sudah harus dipertimbangkan. Sebab secara total ini akan menjadi beban kesehatan.

Tidak heran pemerintah Jerman karena merasa penduduknya sudah terlalu gemuk, mencanangkan program “Fit statt fett“. Perubahan pola makan disosialisasikan kepada masyarakat luas. Anak-anak di Jerman, sekarang sangat didorong makan sayuran/buah alih-alih daging. Susu hanya boleh dikonsumsi sebagai pengganti makanan, bukan sebagai minuman biasa. Hm… jadi mirip pola makan orang Indonesia, banyak nasi dan sayur sedikit daging. Di TK, Madhava tidak boleh membawa roti manis sebagai bekal, harus roti berserat (roti coklat), dan tanpa isi yang manis (misal selai).

Professor Dr. Klaus Bös dari Karlsruhe mencobakan test untuk anak-anak Jerman dan mendapatkan hasil yang menyedihkan, bekerja sama dengan acara Stern TV, mencobakan test kesegaran anak. Ternyata anak-anak di Jerman banyak yang mengalami permasalahan gerak. Hal itu disebabkan karena faktor kebiasaan makana serta makin maraknya TV dan game console, sehingga anak-anak makin jarang bergerak.

Di Indonesia? Daging masih tetap dianggap makanan pendongkrak gengsi. Kalau hanya makan pakai tahu dan tempe, takut dibilang miskin. Walau ekonomi “ngepas” orang kita tetap berusaha menyediakan daging. Terlebih sekarang makanan cepat saji dengan menu utama daging makin mengobral harga. Akibatnya kian banyak anak Indonesia terancam obesitas. Sayangnya para orang tua justru bangga jika anaknya gemuk, bongsor dan sering makan daging. Fenomena yang lucu.

0 komentar: