Selasa, 09 Desember 2008

Sains dan Selera Pasar, Bisakah Seirama?

Bisakah sains mengikuti selera pasar, atau sebaliknya? Sains dan juga teknologi selayaknya menjadikan kehidupan lebih baik, lebih mudah, dengan taraf yang lebih tinggi. Itu artinya masyarakat dan pasar. Mengapa melihat dengan parameter pasar? Karena semua pelayanan itu bertujuan untuk memuaskan pasar. Begitulah sifat alamiah manusia. Dari manusia, oleh manusia, dan untuk manusia.

Lihatlah perusahaan-perusahaan besar. Mereka yang bertahan dan mampu memegang kendali (selain memang perusahaan pelopor dan monopoli) adalah yang berusaha memberikan pelayanan terbaik; tercepat, termurah, dan memuaskan konsumen. Begitu juga dalam pergaulan sehari-hari. Bukankah kita berusaha menjadi teman yang baik? Dalam arti kata, kita melayani teman-teman kita.

Apakah dengan pemenuhan pasar kita jadi kehilangan idealisme? Jawabannya belum tentu. Berbicara pasar berarti berbicara selera umum. Sedang menjadi idealis berbeda dengan aneh atau tak awam bukan?

Netsains bertujuan mempopulerkan sains-tek. Kata populer menyangkut orang banyak, menyangkut masyarakat. Bagaimana mengemas sains-tek agar menjadi mudah dan menyenangkan? Itu menyangkut membidik selera pasar.

Dan jangan salah mengerti, pasar itu tak melulu soal keuntungan bisnis. Setiap manusia adalah makhluk intelektual yang dikaruniai bermacam bakat oleh Tuhan. Namun tak semua orang berselera ataupun mendekatkan diri pada sains-tek. Pun tak semua orang mau mengakui bahwa dirinya seorang scientist, bahkan walau ia mengeyam pendidikan di bidang sains (MIPA). Sains-tek dianggap kurang menarik karena terlalu rumit dan kurang bersahabat.

Banyak teman-teman Netsains yang memberikan sumbangan pemikiran mengenai terwujudnya sains yang populer. Semua itu bagaikan melihat bola dunia dari sisi yang berbeda-beda. Saling melengkapi untuk bisa melengkapi puzzle yang sempurna terbentuk.

Memenuhi Kebutuhan Pasar atau Membuat Pasar Kecanduan?

Di era informasi seperti sekarang ini, masyarakat begitu dimudahkan dalam informasi karena memang kebutuhan akan informasi, termasuk telekomunikasi meningkat pesat. Menyediakan akses informasi yang murah juga berarti memenuhi kebutuhan pasar. Namun bisa berarti sebaliknya, menciptakan kecanduan pada pasar. Ini seperti dua sisi mata uang logam.

Sektor telekomunikasi misalnya. Teknologi berkembang. Persaingan tidak hanya di sisi provider yang berusaha merebut hati pasar dengan memberikan tarif termurah. Ini yang diuntungkan adalah konsumen. Konsumen bisa memilih provider yang memberikan tarif termurah dan layanan terbaik.

Persaingan juga terjadi di sisi teknologi. Di sektor telekomunikasi seluler, setelah era AMPS berakhir, era GSM berjaya di akhir 90an sampai sekarang. Lalu menjelang tahun 2000 dimulai dengan munculnya CDMA. Dan seterusnya muncul teknologi-teknologi baru, seperti: 3G, HSDPA, Wimax, dan NGN (Next Generation Network).

Masyarakat sekarang bisa menggunakan handphone tidak hanya untuk telpon atau sms saja. Tapi juga bisa untuk berfoto, merekam video, melakukan video call, mengirim video sms, menonton televisi dengan video streaming, internet (browsing, chatting, email), atau membaca dan mengolah data. Teknologi berkembang, dan karena sudah mendapat tempat di masyarakat, masyarakat menjadi kecanduan untuk mengikuti teknologi terbaru. Tentu saja provider harus bijaksana dalam meluncurkan teknologi terbaru, karena tidak semua teknologi itu dibutuhkan masyarakat. Ada infrastruktur yang harus dibangun, ada equipment dan devices. Ada sistem yang sudah dibentuk sebelumnya. Ada perjanjian yang disepakati secara global. Ada cost yang dibebankan pada konsumen.

Lalu Bagaimana dengan Sains?

Sebagai pilar kemajuan bangsa tentu saja kita membutuhkan atmosfir sains yang sehat dan kuat. Ilmuwan adalah suatu profesi. Seperti dokter, insinyur, atau polisi. Untuk membuat penelitian di laboratorium memang tak mudah dan seorang ilmuwan juga terikat dengan kode etik profesinya. Seorang ilmuwan meneliti bertahun-tahun terhadap suatu sel di bagian tubuh misalnya, membutuhkan paten dan memang harus menjaga eksklusivitas.

Membentuk masyarakat yang mencintai sains-tek bukan berarti menjadikan semua orang ilmuwan atau semua orang teknokrat bukan?

Satu-satunya saran adalah membuat masyarakat ”berselera” terhadap sains. Ini adalah prinsip penting dalam mempopulerkan sains. Banyak elemen masyarakat yang bisa berperan di sini. Mulai dari bayi, seorang ibu bisa mulai mengenalkan anak pada sains-tek dengan cara sederhana dalam kesehariannya.

Seorang ilmuwan tak melulu berhubungan dengan ilmuwan tapi juga berkolaborasi dengan kalangan masyarakat luas yang berbeda profesi dengannya, kalangan di dunia pendidikan, kalangan di media, kalangan di birokrasi. Seorang praktisi di bidang informasi membuat sistem untuk memberikan informasi sains-tek yang lebih banyak, lebih luas dan lebih mudah terjangkau. Seorang yang dekat dengan media mempublikasikan sains-tek lebih banyak dan mengemasnya dengan bahasa yang lebih menarik. Termasuk iklan di televisi. Ingat sekali kan, bagaimana produk pemutih kulit menjadi sangat mempengaruhi pandangan orang tentang kecantikan perempuan?

Lalu seseorang yang dekat dengan kebijaksanaan publik berusaha memberikan alokasi peran sains-tek dan memberikan perhatian lebih banyak pada pertumbuhan dan perkembangan dunia sains-tek, termasuk penelitian. Termasuk dengan memberikan anggaran lebih besar di dunia tersebut agar potensi-potensi terbaik bangsa tidak malas memilih profesi sebagai ilmuwan atau peneliti.

Saya mungkin sedang berangan-angan. Angan-angan untuk terwujudnya asmosfir sains-tek yang lebih baik, lebih maju, dan lebih bergairah di Indonesia.

AMSTERDAM,Anak muda Indonesia terlibat dalam kampanye berpelukan di sejumlah kota di belahan dunia lain. Berdasar penelitian, pelukan mampu menyehatkan tubuh dan mencegah penyakit jantung. Bagaimana bisa?

Sebuah pertanyaan sederhana, kapan Anda terkahir berpelukan dengan orang yang Anda kasihi? Survey menyatakan bahwa hanya 2 dari 10 orang di dunia yang memeluk orang yang dikasihi dengan penuh makna – tidak a la kadarnya. Hal ini tampaknya menjadi beban tersendiri buat Juan Mann dari Sydney, Australia. Dengan bermodalkan sebuah papan bertuliskan Free Hugs ‘nangkring’ di sebuah mall di Sydney. Dibantu dengan berbagai media seperti YouTube dan sebuah band, SickPuppies, yang memasukkan Free Hugs dalam video klipnya, Free Hughs menjadi suatu kegerakan anak muda di dunia. Berangkat dari sebuah ide kecil bahwa setiap orang membutuhkan pelukan. Memang ada betulnya, kita dalam kehidupan dunia modern sudah terbuai dalam segala kesibukan kita hingga mengisolasi diri kita – membuat kita kesepian. Free Hugs Movement, kini merambah ke setiap negara, Taiwan, Korea Selatan, Jerman, Inggris bahkan Belanda.

Menyehatkan

Di Indonesia, gerakan ini mungkin masih sedikit kontroversial karena masalah agama dan budaya setempat. Terlepas dari itu semua, sekelompok mahasiswa Indonesia bersama teman-teman kampusnya baru saja mengikuti kegerakan ini di Arnhem, Belanda. Max E. Mandias, salah satunya, ia mengungkapkan bahwa kegerakan ini adalah kegerakan damai. Sebuah usaha untuk menunjukkan bahwa kita peduli dengan orang lain. Daripada demonstrasi, tawuran, atau mogok makan, sebuh pelukan bias menjadi alternatif yang menarik.

Dari sisi sains, lebih menarik lagi. Karen Gawen dari University of North Carolina-Chapel Hill melakukan serangkaian eksperimen mengenai pelukan. Ternyata sebuah pelukan yang lebih dari 20 detik dalam sehari mampu menyehatkan tubuh. Pelukan menstimulasi stabilisasi metabolisme tubuh dan meningkat hormon oksitosin yang mampu melindungi dari penyakit jantung.
Sudahkah Anda berpelukan hari ini?.

Mendengar musik dimana saja dan kapan saja jadi santapan keseharian remaja kita. Apalagi produk seperti iPod, iPhone dan MP3 kian merajalela. Tapi waspada saja, sebab kebiasaan memankan bass dan treble di earphone bisa merusak telinga.

Mengapa bisa begitu? Sebuah ciri penting gelombang ialah panjang gelombang, yaitu panjangnya satu siklus lengkap mulai dari naik, lalu turun, menanjak lagi sampai ketinggian semula. Di pihak lain, frekuensi menyatakan berapa sering naik turun itu terjadi dalam satu detik. Hubungan di antara keduanya berkebalikan. Gelombang pendek berkaitan dengan frekuensi tinggi, gelombang panjang menunjukkan frekuensi rendah.

Di dunia musik, frekuensi mengungkapkan nada. Misalnya nada acuan A dengan frekuensi 440 Hz (Hertz = getaran per detik) terdengar lebih tinggi dari pada C-tengah 261,6 Hz.
Ada yang menarik pada musik akustik, yaitu semakin kecil instrumen, semakin tinggi nada yang keluar. Perhatikan panjang pendeknya suling. Atau keluarga besar biola, biola alto, cello, sampai contrabass, yang semua sama potongannya, tetapi berbeda “size” dan tinggi nadanya. Prinsipnya, ukuran instrumen harus sesuai dengan panjang gelombang yang dibangkitkan. Ini juga berlaku pada penerimaan gelombang. Pokoknya supaya gelombang bisa dipancarkan dan ditangkap dengan baik, besarnya alat harus dekat dengan panjang gelombang.

Pembagian Tugas

Berapa panjang gelombang suara? Pada daerah atas pendengaran manusia, gemerincing nada tinggi atau “treble” mempunyai panjang gelombang kurang dari sekitar 15 cm. Pada ujung bawah, dentuman suara bas bergemuruh pada panjang gelombang lebih dari 1 m. Nada-nada menengah berkiprah di antara keduanya.

Tidaklah mungkin menghayati musik sampai mata terpejam-pejam jika mengandalkan satu “loudspeaker” saja buat semua frekuensi. Harus ada pembagian tugas. Untuk treble, dipasang loudspeaker kecil yang disebut “tweeter”, dengan diameter sekitar 3 cm. Lalu agar suara menengah terdengar cerah, loudspeakernya berdiameter sekitar 10 cm.

Yang susah adalah urusan nada rendah, sebab loudspeaker bas yang disebut “woofer” idealnya mesti puluhan sentimeter besarnya. Tidak saja sukar dibuat, tetapi kotak atau petinya pasti berebut tempat dengan perabot rumah. Karena itu diameter woofer yang lazim adalah 25-30 cm.

Bagaimana manusia mendengarkan semua itu? Bukankah penampang lubang telinga dan gendang telinga hanya sekitar 1 cm? Kalau dicocokkan dengan panjang gelombang suara, sepertinya yang langsung dicerna frekuensi tinggi saja. Bagaimana nasib nada menengah, apalagi bas?

Menggelegar

Jangan kuatir, telinga tidak berada sendirian, tetapi terpasang di dalam tengkorak kepala, yang ditunjang kukuh oleh tulang belulang tubuh.

Pada saat nada menengah dan rendah menyapa manusia, telinga memang tidak banyak berdaya. Tetapi untunglah, peran mengindera dibantu oleh sekujur tubuh kita. Berkat ukuran badan yang tidak jauh dari panjang gelombang menengah dan bas, nada-nada itu meresap sebagai getaran pada tulang belulang. Pada gilirannya, getaran tersampaikan ke tengkorak kepala dan dirasakan oleh perangkat telinga, sehingga orang bisa mendengarnya. Frekuensi tinggi langsung diterima telinga, frekuensi menengah dan apalagi rendah didengar dengan bantuan tubuh.

Jika dikatakan “Wah, suara basnya menggelegar, terasa mantap dalam dada”, itu memang betul. Karena badan terkocok getaran dan jantung ikut merasakan. Juga sikap yang bijaksana jika orang agak lanjut usia tidak diajak mengunjungi diskotek atau konser rock. Bukan soal supaya kelakuan remaja tidak diawasi terus oleh orang tua, tetapi “bisa lepas jantungnya” adalah kata-kata yang kiranya tidak terlalu meleset.

Sekarang kalau orang memakai earphone (jenis kecil yang disusupkan ke lubang kuping), yang menangkap suara hanya telinga tanpa melibatkan badan. Tentu saja suara bas serasa melayang. Lantas buat meraih bas yang mengguncang, timbul kecenderungan untuk mengencangkan suara, menaikkan volume. Padahal mungkin sekali intensitas suara sudah mencapai atau bahkan melampaui batas bahaya untuk telinga. Belum juga terdengar menggelegar, dikeraskan lagi.

Janganlah menghajar telinga, instrumen super halus yang belum ada gantinya. Sebagai alternatif yang terkesan lucu, jika anda ingin menikmati musik dengan radio baterai yang kurang besar, dengarkan sambil mendekap radio itu di dada. Niscaya tulang ikut digetarkan, membuat suara bas lebih meyakinkan. Selamat mencoba.

Ada yang mengatakan, makin tinggi atau rumit suatu bahasa semakin tinggi pula budaya yang terkandung. Banyak orang yang sependapat dengan ungkapan ini, tapi ada juga orang yang kurang sependapat. Bagaimana dengan budaya Indonesia dan Bahasa Indonesia itu sendiri?

Semua penduduk Indonesia pasti akan mengatakan kalau Indonesia memiliki budaya yang sangat kaya, dengan beragam suku bangsa dan terbentangnya pulau-pulau menghasilkan karya cipta yang beragam pula. Lalu bagaimana dengan masalah kebahasaannya sendiri? Bahasa Indonesia sudah berkembang cukup pesat, kalau kita ambil pergerakkannya sejak ikrar Sumpah Pemuda, tentunya bahasa Indonesia tidak mengarungi waktu yang sedikit hingga saat ini.

Bahasa

Tapi apakah Bahasa Indonesia yang kita kenal sekarang sudah berbudaya? Sesekali penulis mendapati anak-anak kecil usia sekitar 4 tahun atau 5 tahun yang mengutarakan, ‘emang gue pikirin!’ atau ‘bodo amat!’, ucapan-ucapan sejenis yang sering terlontar dari mulut-mulut anak-anak ini mencirikan satu hal kepada kita, yaitu merosotnya budaya kita. Dan ucapan sejenis ini dilontarkan kepada bukan hanya teman-temannya saja, melainkan kepada orang tua juga. Tapi, apakah hal ini bisa disebut sebuah penambahan budaya baru? Apakah hal ini bisa disebut kekayaan bahasa baru? Rekan-rekan sekalian pasti ingat semasa kecil dulu yang bahasanya lebih sopan dari ucapan-ucapan diatas. Namun demikian, apakah hal ini langsung disalahkan kepada orang tua si anak? Atau semata ini hanya perkembangan zaman?

Hal utama yang terlintas di benak kita adalah sudah begitu bebasnya arus media yang datang ke mata dan telinga anak-anak penerus bangsa ini, atau bisa dikatakan penerus bahasa dan budaya Indonesia. Besarnya akibat yang dilahirkan dari tayangan-tanyangan TV ini bisa saja membentuk karakter budaya bangsa kita yang baru. Hal terkecil yang dimulai adalah dari penggunaan bahasa yang tidak semestinya.

Upaya Perbaikan

Ungkapan “mulutmu harimaumu” pasti sering kita dengar, atau sudah ada yang mengalaminya? Ungkapan tersebut mengacu pada apa yang kita terima atau dengar dari orang lain dan lawan bicara sedikit-banyak merupakan hasil dari apa yang kita ucapkan atau katakan sebelumnya. Berangkat dari lingkungan terkecil, yaitu keluarga, seorang anak akan terlihat bagaimana didikannya dalam keluarga dari tutur bahasa yang ia gunakan diluar lingkungan keluarganya, dan tentunya terkait pula dengan pola didikan dan tutur bahasa orang tuanya.

Dalam lingkup yang lebih besar pemerintah dalam hal ini Depdiknas yang dimotori oleh Pusat Bahasa berupaya mengembalikan jati budaya Indonesia yang berawal dari penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahkan tahun 2008 akan dicanangkan sebagai Tahun Bahasa, yang mana diharapkan Bahasa Indonesia akan menempati posisi sebagai tuan rumah dinegaranya sendiri, dengan tidak melupakan kehadiran Bahasa Daerah dan Bahasa Asing. Dan selain itu, tahun 2008 juga akan diselenggarakan Kongres Bahasa.

Pada dasarnya semua kembali kepada diri kita masing-masing, apakah bahasa yang tidak berbudaya tersebut akan terus berkelanjutan atau tidak? Apakah budaya ’bodo amat!’ dan ungkapan-ungkapan sejenis akan terus mewarnai kehidupan sehari-hari kita? Apakah akan terbentuk budaya baru yang mengesampingkan keramahan dan keindahan Bahasa Indonesia dan digantikan dengan bahasa yang tidak semestinya?

Bahasa akan selalu mencirikan budaya bangsa, ini merupakan salah satu unsur saja, tapi apakah unsur tersebut akan kita rusak? Dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada Bahasa Daerah sebagai keragaman dan budaya nasional dan Bahasa Asing sebagai penambah khasanah ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak ada salahnya Bahasa Indonesia tetap jadi bahasa yang indah dan menunjukkan siapa diri kita sebenarnya.

Jangan malu menjadi orang Indonesia. Jangan terpengaruh dengan segala macam survei atau data yang dipublikasikan oleh badan-badan asing. Silakan saja Indonesia dicap sebagai negara dengan korupsi besar. Atau bangsa yang dicemooh sebagai terbelakang, penuh bencana, krisis dan sebagainya.

Yang pasti di sektor Teknologi Informasi, kita layak berbangga. Berikut penuturan seorang Onno W. Purbo yang tak terlalu peduli dengan banyak omongan miring soal Indonesia.

Berbicara Teknologi Informasi (TI) dari sisi teknologi tidak akan ada habisnya bahkan cenderung pesimis dan merasa tertinggal. Peranti keras prosesor, kita mengenal teknologi Dual Core, Quad Core dan sebagainya. Pada teknologi telekomunikasi, kita mengenal fiber optik. WiFi, WiMAX, 3G, 4G, Next Generation Network (NGN), Wajanbolic e-goen, VoIP Rakyat. Yang dua terakhir buatan anak bangsa. Pada teknologi sistem operasi, kita mengenal Windows dan turunannya dan pesaingnya dari Open Source Software yang lebih terbuka untuk pengembangan di Indonesia, seperti, Ubuntu, Fedora, Pinux, Xnuxer. Lagi, yang dua terakhir buatan anak bangsa.

Industri

Fenomena TI sebetulnya sangat sederhana. Teknologi selalu berusaha lebih cepat mengirim data, cepat menghitung, lebih besar kapasitas penyimpanan, lebih banyak layanan. Yang menarik dari fenomena teknologi, semua kelebihan di barengi dengan semakin murah harga, sederhana, mudah di operasikan, kecil peralatan. Ke dua, sisi teknologi yang saling berlawanan akan hanya dapat terjadi secara bersamaan, jika dan hanya jika, ada pasar atau akan jasa berbasis teknologi informasi. Industri TI berbeda dengan banyak teknologi lainnya, yang dapat di drive oleh proyek pemerintah, pabrikan, manufaktur.

Industri TI lebih banyak di-drive oleh pasar yang besar, skala ekonomi yang besar karena harganya sangat retail Jelas bahwa keberhasilan pembangunan pasar menjadi kunci utama keberhasilan industri teknologi informasi di dalam negeri. Kebanyakan kebijakan dan regulasi teknologi informasi sekarang lebih condong pada sisi supply tidak terlalu berpihak pada rakyat.

Aktivis TI

Pertanyaan yang membuat orang tergelitik – “Apa kiprah bangsa Indonesia dalam Teknologi Informasi?”. Jawaban singkatnya – Ada dan Banyak. Betul, banyak sekali kiprah bangsa Indonesia dalam bidang teknologi informasi, beberapa diantaranya bahkan menjadi contoh dunia, seperti, Wajanbolic e-goen, RT/RW-net, WARNET, VoIP Rakyat. Jangan kaget, tidak ada jaringan RT/RW-net di dunia yang sebesar Indonesia. Tidak ada jaringan WARNET yang besar di dunia, selain di Indonesia sedemikian terorganisir melalui Asosiasi WARNET Indonesia (AWARI). Solusi Internet dan telekomunikasi murah menggunakan teknologi Wajanbolic e-goen & VoIP Rakyat hanya ada di Indonesia.

Tidak mengagetkan, banyak para aktivis TI Indonesia di undang memberikan workshop di luar negeri, karena dunia pun memerlukan solusi yang banyak di praktekan oleh para aktivis TI Indonesia. Saya pribadi terakhir awal Mei 2007 memberikan workshop di Bangkok mengenai Next Generation Network alias 4G karena MENKOMINFO Thailand tertarik untuk mentransformasikan Thailand menuju NGN . Kebetulan tidak banyak ahli yang mengerti tentang NGN & 4G di Thailand sehingga mereka memerlukan untuk memperoleh ilmu praktis tentang instalasi & konfigurasi NGN dari aktifis Indonesia yang telah lama berjuang di lapangan.

Dokumentasi inisiatif rakyat Indonesia yang sangat membumi, tidak tergantung pada utangan Bank Dunia, IMF, dapat di baca pada situs Sejarah Internet Indonesia di alamat http://wikihost.org/wikis/indonesiainternet.

Tidak pernah terlambat bagi siapa saja yang ingin bergabung dalam sejarah perjuangan ini. Dan makin terbukti saja bahwa dunia belajar pada bangsa Indonesia!

We cannot not communicate”. Demikian seperti sering disampaikan para pakar komunikasi. Tapi tahukah anda bahwa ternyata bakteri pun suka ngobrol juga? Pada bakteri, proses komunikasinya dinamai quorum sensing, yang melibatkan pertukaran suatu senyawa kimia (auto inducer). Sebagai contoh, saat berjumlah sedikit, bakteri Pseudomonas aeruginosa dapat tumbuh pada inangnya tanpa menyebabkan penyakit. Namun ketika jumlahnya mencapai konsentrasi tertentu, bakteri tersebut kemudian menjadi agresif dan membentuk biofilm yang mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dan menyebabkan penyakit. Melalui mekanisme quorum sensing, sejumlah bakteri gram negatif menggunakan senyawa acyl homoserine lactone (AHL) untuk saling berkomunikasi dalam rangka mengatur sejumlah fungsi biologis seperti sifat patogen dan pembentukan biofilm. Sementara bakteri gram positif seperti Bacillus subtilis menggunakan suatu peptida atau protein khusus untuk tujuan dan fungsi serupa.

Bersama untuk Bisa

Seperti halnya para anggota dewan dalam mengesahkan suatu keputusan, bakteri pun memerlukan suatu keadaan kuorum untuk mengekspresikan sifat-sifat tertentu. Sebagai contoh, apabila telah mencapai suatu kuorum, bakteri V. fisheri dapat secara bersama menghasilkan cahaya (bioluminescens). Pada kondisi ini, AHL akan membentuk kompleks dengan protein pengatur khusus yang kemudian mengaktifkan sejumlah gen-gen penyandi enzim-enzim untuk bioluminescens.

Apabila hanya terdapat sedikit bakteri sejenis, beberapa sifat tertentu mungkin tidak akan dimunculkan. Pengaktifan gen tertentu hanya terjadi saat bakteri sejenis mencapai jumlah tertentu. Mekanisme quorum sensing ini bekerja pula pada pengaktifan faktor-faktor patogenesis dari bakteri, seperti dalam pengaturan keputusan pembentukan spora atau virulensi. Bakteri memanfaatkan mekanisme quorum sensing untuk dapat merespon perubahan kondisi lingkungan yang berlangsung begitu cepat. Untuk bakteri patogen, koordinasi mekanisme virulensi ini sangat penting untuk mengatasi mekanisme pertahanan sistem kekebalan tubuh dari inang.

Pada konsentrasi yang rendah, bakteri Erwinia carotovora tidak mengaktifkan gen yang terkait dengan patogenisitas. Namun ketika mencapai konsentrasi yang cukup, mekanisme quorum sensing mulai berjalan dan dua set gen mulai diekspresikan. Satu set gen menghasilkan enzim yang terlibat pada pelepasan nutrisi dari inang, sementara set gen lain menghasilkan antibiotik karbapenem. Pembentukan antibiotik dimaksudkan untuk membunuh bakteri spesies lain sehingga dapat dipastikan bahwa nutrisi yang dihasilkan oleh inang hanya tersedia untuk E. carotovora. Demikian seperti dijelaskan oleh Elling Ulvestad dari Departemen Mikrobiologi dan Immunologi, The Gade Institute di situs www.nfmikro.net.

Pemahaman ilmiah mengenai mekanisme quorum sensing saat ini semakin berkembang dan mengarah pada pemanfaatannya dalam bidang pengobatan. Di masa datang, quorum sensing dapat menjadi salah satu alternatif penanganan infeksi bakteri non antibiotik. Boleh jadi sebenarnya manusia tidak mesti memberantas bakteri-bakteri tersebut, namun cukup dengan mengontrol perilaku bakteri sehingga tidak menyebabkan penyakit

Selasa, 02 Desember 2008

Polisi Jerman Mendesain Bra Antipeluru

Jangan anggap remeh polisi-polisi Jerman! Berita dari suratkabar Inggris melaporkan bahwa baru-baru ini kepolisian Jerman mendesain bra antipeluru baru yang dikenakan sebagai ganti pakaian dalam bagi polisi-polisi wanita Jerman.

Apakah baju anti peluru yang biasa dipakai polisi kurang cukup untuk menahan peluru? Ternyata peluru yang ditahan oleh baju anti peluru, tekanannya bisa membuat bahan plastik atau logam yang berada pada bra biasa mampu melukai bagian badan yang bersinggungan langsung dengan bahan plastik atau logam bra tersebut.

Bra biasa yang Bra antipeluru, yang diberi nama “Action Brassiere”, terbuat dari bahan cotton, poliester dan beberapa bahan sintesis yang dipadatkan tanpa unsur logam atau plastik sebagai tali atau pengencang bra. Peniadaan unsur logam membuat polisi wanita lebih berani dan tidak perlu takut lagi kalau sedang beraksi berhadapan dengan penjahat-penjahat bersenjata api.
Bra antipeluru ini juga bisa dikenakan sebagai ganti baju antipeluru yang berat dan mengganggu gerakan untuk melindungi hanya bagian-bagian tertentu dari tubuh. Kelak bra antipeluru ini akan wajib untuk dikenakan oleh seluruh polisi wanita Jerman.